Saturday, July 16, 2016

Mengapa obat Ketorolac dan Ranitidin disebut Romeo dan Juliet?

Obat-obatan ini sering sekali aku lihat. Di bagian mana saja, di bagian Bedah Saraf, di bagian Digestiv, di bagian Cardiovaskuler, di UGD bahkan di mana saja. Seolah obat-obatan ini adalah anak emas dari Rumah sakit besar yang berdiri kokoh ini.

Ketorolac dan Ranitidin.

          Di mana ada Ketorolac di situ ada Ranitidin. Mereka umpamanya dua sejoli yang tak pernah terpisahkan, selalu beriringan. Ketorolac adalah rajanya, sementara Ranitidin adalah putrinya. Jika Ketorolac adalah Romeo, maka Ranitidin adalah Juliet.

Ketika pertama kali memasuki bagian Bedah Saraf, aku masih sangat polos, aku menginjeksikan saja pasangan obat ini tanpa banyak bertanya apapun. Lain waktu aku memasuki bagian Digestiv, tempat segala jenis penyakit pencernaan dikumpulkan. Di sana aku temukan lagi pasangan Ketorolac jugaRanitidin.

Aku mulai curiga dengan obat-obatan ambisius ini, mereka telah menempati dua bagian yang cukup banyak didatangi oleh pasien dengan bermacam-macam jenis penyakit. Di bagian lain, teman-teman mengatakan hal yang sama, bahwa Ketorolac dan Ranitidin ada dimana-mana. Di bagian Saraf, di bagian Interna, di bagian Tumor, Urologi, dimana-mana, pasangan romantis itu selalu ada. Maka ketika memasuki bagian Orthopedi, mendapati hal yang sama, aku memberanikan diri bertanya kepada seorang dokter residen.

“Dok, Ketorolac dan Ranitidin obat untuk apa?”

“mengapa mereka selalu berpasangan?”

Sang dokter menatapku tajam.

“Oh, Ketorolac itu analgetik sedangkan Ranitidin penurun asam lambung”

“Oooooh.”

Aku seolah mengerti, padahal tidak.

Setahuku analgetik itu adalah anti nyeri. Obat-obatan dengan efek analgetik mampu menurunkan bahkan meredakan nyeri. Sedangkan penetralisir asam lambung? Mungkin akan mengurangi kadar asam lambung yang bisa membuat lambung terasa perih, juga sensasi terbakar pada ulu hati.

“tapi apa hubungannya analgetik dengan menurunkan asam ambung?”

Aku semakin bingung. Aku berlalu meninggalkan sang dokter dengan setumpuk pertanyaan yang membuatku pening.

***

Lagi, ketika menginjeksikan pasangan setia ini, Ketorolac juga Ranitidin pada seorang pasien dengat fraktur Tibia atau patah tulang kering (betis), lagi-lagi obat ini tersenyum simpul ketika akan memasuki vena sang pasien. Aku menatapnya tajam, berbincang dan bertanya pelan pada mereka.

“Hei, kalian berdua terlalu ambisius”

“Mengapa?”

“Hei, apa kau tidak lihat pada hampir setiap bagian kalian berdua selalu ada?”

“Ah, biasa saja, suntikkan kami pelan-pelan pada vena pasienmu”

“Mengapa harus pelan-pelan?”

“Hei, apa kamu mau memburukkan kondisi pasienmu?”

“Lho??? Bukankah kalian berdua adalah obat penyembuh”

“Ah, dasar perawat pemula, sana browsing di internet”

Aku lesu menghadapi pasangan obat yang angkuh ini.

***

Tidak sabar, maka aku mulai browsing di internet. Kuketik dua pasangan sombong itu, Ketorolac dan Ranitidin. Maka muncullah puluhan artikel tentang mereka, kuklik satu artikel. Aku membacanya perlahan-lahan.

Kesimpulan yang aku tarik dari hasil bacaan itu adalah dua obat-obatan ini memang harus bergandengan. Ketorolac adalah analgesic, seperti yang dikatakan oleh seorang dokter residen pada bagian Orthopedi. Namun efek lain yang muncul ketika pemberian analgesik tanpa disertai penurun asam lambung, pasien akan kesakitan pada daerah perut atas atau bisa juga merasakan sensasi seperti terbakar pada ulu hatinya. Efek samping dari Ketorolac adalah menaikkan asam lambung, maka untuk menurunkan asam lambung, dipilihlah Ranitidin sebagai penurun kadar asam lambung.

Wah, Ranitidin luar biasa!

Aku bertanya lagi pada seorang apoteker lantai 5c di RSUD Koja. Dia adalah orang yang aku kenal sejak pertama kali praktik di koja.

“mba, Ranitidin dan Ketorolac itu obat apa? Kenapa harus disuntikkan pelan-pelan?”

“Oh, mereka memang harus dikombinasikan Em, Ranitidin menekan efek yang ditimbulkan oleh Ketorolac. Harus disuntikkan perlahan-lahan karena obat tersebut cukup pekat, pasienmu nanti bisa pusing dan kesakitan Em”.

“Oh, terimakasih ya mba”

”Ok gul”.

Maka sejak saat itu, aku menghargai dua pasangan obat ini. Jika akan menginjeksikan pada pasien, aku memberitahukan kepada pasien bahwa obat-obat tersebut sedikit nyeri ketika memasuki pembuluh darah. Kuinjeksikan pelan-pelan, sangat menghargai pasien juga menghindari efek yang bisa saja muncul ketika aku tidak sadar terlalu cepat menginjeksikannya.

No comments:

Post a Comment